Menggapai Cita-cita Kemerdekaan di Usia 79 Tahun, Ini Kata Benny Susetyo soal PR Bangsa Indonesia

Nasional128 views

Jakarta – Pada Sabtu, 17 Agustus 2024, Radio Elshinta menyelenggarakan sebuah diskusi bertajuk “Apa PR dan Bagaimana Indonesia Mewujudkan Cita-Cita dan Tujuan Kemerdekaannya di Usia ke-79.” Acara ini menghadirkan Antonius Benny Susetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebagai narasumber utama. Dalam diskusi tersebut, berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang telah diraih 79 tahun silam dibahas secara mendalam. Indonesia, yang telah merdeka selama 79 tahun, diharapkan mampu menjadikan usia kemerdekaan ini sebagai momentum untuk melakukan refleksi mendalam atas perjalanan bangsa.

Dalam diskusi, Antonius Benny Susetyo menyatakan bahwa kemerdekaan bukan hanya sekadar terbebas dari penjajahan, tetapi juga upaya untuk mencapai cita-cita luhur bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Cita-cita dan tujuan kemerdekaan Indonesia, yang meliputi perlindungan seluruh bangsa, peningkatan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan partisipasi dalam ketertiban dunia, hingga kini masih menjadi visi utama yang harus diperjuangkan. Namun, perjalanan untuk mencapai tujuan tersebut diwarnai dengan berbagai tantangan yang kompleks, terutama di era globalisasi dan digitalisasi saat ini.

Salah satu tantangan utama yang dibahas dalam diskusi ini adalah fenomena populisme yang semakin mengakar dalam politik Indonesia. Populisme, yang didefinisikan sebagai gerakan politik yang mengklaim mewakili suara “rakyat biasa” melawan “elite” yang dianggap korup, telah mengubah dinamika politik nasional. Antonius Benny Susetyo menekankan bahwa populisme cenderung memecah belah masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan, yang pada akhirnya dapat merusak kohesi sosial dan demokrasi. Di Indonesia, populisme mulai muncul secara signifikan sejak era reformasi, ketika terjadi peralihan dari pemerintahan otoriter ke demokrasi. Pada masa itu, populisme dimanfaatkan oleh para politisi sebagai alat untuk memperoleh dukungan rakyat, namun sering kali mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi demi popularitas jangka pendek.

Dalam diskusi, Benny Susetyo menggarisbawahi pentingnya pendidikan politik yang berorientasi pada nilai-nilai Pancasila. Masyarakat perlu dididik untuk tidak terjebak dalam retorika populis yang dangkal, melainkan harus mampu menilai integritas dan kapasitas pemimpin berdasarkan visi jangka panjang mereka. Selain itu, media massa memiliki peran krusial dalam menyajikan informasi yang objektif dan mendidik, sehingga dapat mencegah manipulasi populis yang merusak demokrasi.

Diskusi ini juga menyoroti krisis etika dan hilangnya budaya malu di kalangan elit politik dan penyelenggara negara. Etika bernegara, yang seharusnya menjadi landasan moral bagi para pemimpin dalam menjalankan tugasnya, sering kali diabaikan. Benny Susetyo menekankan bahwa korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang adalah contoh nyata dari kemerosotan etika dalam kehidupan bernegara. Budaya malu, yang dulunya merupakan mekanisme sosial yang kuat dalam menjaga kehormatan diri dan komunitas, kini mulai terkikis.

“Banyak pejabat publik yang terlibat dalam tindakan tidak etis, namun tetap merasa tidak bersalah dan bahkan tidak malu melakukannya secara terang-terangan. Hal ini, menurut Benny, menunjukkan adanya krisis moral yang serius di kalangan elit politik dan birokrasi.” ujarnya.

Untuk mengatasi krisis ini, pendidikan yang menanamkan nilai-nilai moral dan etika sejak dini harus diperkuat, baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Lembaga pendidikan tinggi juga harus berperan sebagai benteng pertahanan moral, dengan memberikan pendidikan yang tidak hanya berfokus pada akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter yang kuat. Selain itu, budaya malu harus kembali dijadikan kontrol sosial yang efektif dalam kehidupan bernegara, sehingga pemimpin yang terlibat dalam tindakan tidak etis merasa malu dan siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan publik.

Penegakan hukum di Indonesia telah lama menjadi sorotan, terutama karena seringnya hukum dijadikan alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam diskusi ini, Benny Susetyo mengkritik tajam penegakan hukum yang tidak adil di Indonesia, di mana hukum sering kali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketidakadilan dalam penegakan hukum tercermin dari banyaknya kasus di mana masyarakat kecil dijatuhi hukuman berat untuk pelanggaran ringan, sementara para koruptor sering kali lolos dengan hukuman ringan atau bahkan bebas. Benny menekankan bahwa untuk mewujudkan penegakan hukum yang adil, diperlukan reformasi sistem hukum yang komprehensif.

“Salah satu langkah yang harus diambil adalah memperkuat independensi lembaga peradilan agar tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politik. Selain itu, sistem pengawasan yang ketat terhadap proses penegakan hukum harus diterapkan, agar setiap tindakan penegak hukum dapat dipertanggungjawabkan. Peran masyarakat dalam mengawasi proses penegakan hukum juga sangat penting. Partisipasi masyarakat yang kuat dalam pengawasan publik akan menekan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa hukum benar-benar dijalankan secara adil dan tidak diskriminatif.” bebernya.

Ia menegaskan Media dan LSM juga memiliki peran vital dalam membawa isu-isu penegakan hukum ke permukaan dan memaksa otoritas terkait untuk bertindak sesuai dengan hukum. Benny juga menyoroti bahwa hukum yang dijadikan komoditas kekuasaan merupakan tradisi yang sudah ada sejak masa kolonial dan terus berlanjut hingga masa Orde Baru. Penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan, menurutnya, tidak hanya merusak integritas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga menurunkan moralitas publik dan meningkatkan rasa ketidakpercayaan di antara warga negara.

Salah satu prinsip utama dalam Pancasila adalah keadilan sosial, yang menegaskan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan keadilan sosial masih jauh dari ideal. Dalam diskusi, Benny Susetyo menyampaikan bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial tetap menjadi masalah besar yang dihadapi Indonesia, di mana kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar.

Benny mengkritisi program-program pemerintah yang sering kali tidak tepat sasaran, dengan distribusi bantuan yang tidak merata dan penyelewengan dana yang menyebabkan manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat yang paling membutuhkan. Ia menekankan bahwa ketidakadilan sosial yang terus berlanjut dapat mengancam stabilitas nasional, memperkuat polarisasi di masyarakat, dan menciptakan ketegangan antara kelompok-kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil. Untuk mewujudkan keadilan sosial, Benny menekankan pentingnya komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil. Kebijakan redistribusi kekayaan, pajak progresif, dan pembangunan inklusif harus menjadi prioritas untuk mengurangi ketimpangan yang ada. Pemerintah juga harus memastikan bahwa semua daerah, terutama yang tertinggal, mendapatkan perhatian yang memadai dalam hal pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Pendidikan, menurut Benny, adalah kunci untuk menciptakan keadilan sosial. Dengan memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses ke pendidikan berkualitas, kita memberikan mereka alat untuk meningkatkan kualitas hidup mereka sendiri. Selain itu, pemberdayaan ekonomi melalui program-program yang memberikan akses lebih luas terhadap sumber daya ekonomi juga menjadi langkah penting dalam mewujudkan keadilan sosial.

Diskusi yang berlangsung di Radio Elshinta ini memberikan gambaran jelas tentang tantangan-tantangan besar yang masih dihadapi Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan di usia ke-79. Antonius Benny Susetyo menutup diskusi dengan menekankan bahwa perjalanan untuk mencapai tujuan kemerdekaan memang penuh liku, tetapi dengan komitmen yang kuat dan kerjasama dari semua pihak, Indonesia dapat mewujudkan visi bangsa yang adil, makmur, dan berdaulat. Indonesia, di usia kemerdekaan yang ke-79, diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan tersebut dengan bijak, sambil terus mengupayakan keadilan sosial, penegakan hukum yang adil, dan penguatan etika serta moralitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Dengan semangat Pancasila sebagai dasar negara, bangsa ini dapat terus melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik, di mana cita-cita kemerdekaan dapat diwujudkan secara nyata dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *