Agama Menjadi Inspirasi Etika Publik

Antonius Benny Susetyo
Budayawan

Tema agama menjadi etika publik dalam kehidupan masyarakat Indonesia memang menarik untuk dikaji. Mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi beragama terbesar di dunia, maka peran agama sangat sentral dalam membentuk tatanan etika publik. Pada kesempatan Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh BPIP bersama Universitas Pattimura di Ambon pada 20 September 2024, isu paradoks keberagamaan dan etika kehidupan publik menjadi pusat perhatian. Diskusi tersebut mengangkat pokok-pokok masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, seperti krisis kejujuran, integritas, serta peningkatan korupsi, kolusi, dan nepotisme di kalangan penyelenggara negara. Diskusi ini berupaya menemukan titik temu peran agama dalam membangun etika publik yang mendasar.

Agama, dalam konteks sosial, memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk etika publik. Nilai-nilai universal yang diajarkan oleh agama, seperti kejujuran, keadilan, dan kasih sayang, merupakan fondasi bagi kehidupan yang harmonis. Namun, ironisnya, fenomena yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya paradoks antara ajaran agama dan praktik kehidupan sehari-hari. Seperti yang dikemukakan dalam FGD, agama seringkali hanya dipraktikkan dalam bentuk ritual dan simbol, tanpa penghayatan yang mendalam. Hal ini membuat agama kehilangan fungsinya sebagai inspirasi bagi perilaku etis dalam kehidupan publik.

Seharusnya, agama bukan hanya sekadar harmoni yang tenang tetapi menghanyutkan. Harmoni yang dimaksud di sini seringkali menciptakan relasi yang timpang antara mayoritas dan minoritas. Dalam konteks kehidupan berbangsa, harmoni yang sejati harus didasarkan pada keadilan dan kesetaraan. Ketika agama dipandang hanya sebagai alat untuk menciptakan ketenangan, tanpa memperhatikan aspek keadilan, maka yang terjadi adalah ketidakadilan struktural. Maka, agama harus mampu melampaui ritual dan simbol semata, menjadi sumber inspirasi yang mendorong terciptanya etika publik yang adil dan setara.

Salah satu persoalan utama di Indonesia sekarang ini adalah krisis etika di kalangan penyelenggara negara. Para pemimpin yang seharusnya menjadi teladan dalam menjalankan nilai-nilai keagamaan, justru kerap kali terlibat dalam praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara nilai-nilai agama yang diajarkan dan perilaku nyata di lapangan. Agama, yang seharusnya menjadi sumber moralitas tertinggi, kehilangan pengaruhnya ketika nilai-nilai etis digantikan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Fenomena ini juga terkait dengan budaya kepalsuan yang semakin menguat di era digital. Budaya ini menciptakan kehidupan yang tidak otentik, di mana nilai-nilai kehidupan manusia hanya menjadi simbol untuk mencapai status sosial. Manusia cenderung mengejar hal-hal yang bersifat materialistik, tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Dalam situasi seperti ini, agama seharusnya berperan untuk membongkar relasi kuasa yang timpang dan menginspirasi manusia untuk hidup berdasarkan nilai-nilai yang otentik dan universal.

Integritas dan kejujuran adalah dua pilar utama dalam membangun etika publik yang kokoh. Namun, kedua hal ini semakin terpinggirkan dalam kehidupan publik di Indonesia. Banyak kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mencederai integritas para penyelenggara negara. Dalam konteks ini, agama seharusnya memiliki peran penting dalam mengembalikan nilai-nilai integritas dan kejujuran ke dalam kehidupan publik. Setiap agama mengajarkan pentingnya kejujuran dan integritas dalam setiap aspek kehidupan, namun ajaran-ajaran ini seringkali diabaikan. Untuk itu, pendidikan agama harus mengalami pembaruan. Pendidikan agama tidak lagi boleh hanya mengajarkan ritual dan formalitas, tetapi harus menekankan pada nilai-nilai keutamaan publik dan kebangsaan. Pendidikan agama yang bermakna adalah pendidikan yang mengajarkan bagaimana nilai-nilai universal agama dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai ini harus menjadi dasar dalam membangun etika publik yang kuat, yang mampu mengatasi berbagai persoalan sosial dan politik yang dihadapi bangsa ini.

Lebih lanjut, Salah satu isu yang paling mendesak dalam kehidupan publik di Indonesia adalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketimpangan ini tidak hanya terjadi antara pusat dan daerah, tetapi juga antara kelompok mayoritas dan minoritas. Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya alam, pembangunan yang tidak merata, serta marginalisasi kelompok minoritas adalah beberapa contoh ketimpangan yang masih terjadi di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, agama harus berperan sebagai agen perubahan yang menginspirasi terciptanya keadilan sosial. Agama harus mampu mengatasi ketimpangan ini dengan membongkar relasi kuasa yang timpang dan menciptakan kesetaraan dalam kehidupan publik. Setiap agama mengajarkan pentingnya keadilan dan kasih sayang, dan nilai-nilai ini harus diaktualisasikan dalam kebijakan publik yang berpihak pada kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Ketika agama hanya menjadi aksesori dalam kehidupan publik, maka nilai-nilai etis yang diajarkannya tidak akan pernah mampu mengatasi ketimpangan yang terjadi.

Pendidikan agama memainkan peran penting dalam membentuk etika publik. Namun, pendidikan agama yang diajarkan saat ini seringkali hanya menekankan pada aspek-aspek ritual dan formalitas, tanpa menekankan pada penghayatan nilai-nilai etis yang diajarkan oleh agama. Untuk itu, perlu ada pembaruan dalam pendidikan agama, agar pendidikan agama tidak lagi hanya berfokus pada ritual, tetapi juga pada nilai-nilai keutamaan publik dan kebangsaan. Pendidikan agama yang bermakna adalah pendidikan yang mengajarkan bagaimana nilai-nilai universal agama dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai ini harus menjadi dasar dalam membangun etika publik yang kuat, yang mampu mengatasi berbagai persoalan sosial dan politik yang dihadapi bangsa ini. Pendidikan agama yang bermakna adalah pendidikan yang mampu membentuk karakter individu yang berintegritas, jujur, dan adil, serta mampu menjadi agen perubahan dalam kehidupan publik.

Pancasila adalah landasan utama dalam membangun etika publik di Indonesia. Setiap nilai yang diajarkan oleh Pancasila, seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan, harus menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan publik. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai ini seringkali diabaikan, terutama ketika kepentingan pribadi dan kelompok menjadi prioritas utama. Untuk itu, diperlukan upaya yang lebih serius dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan publik. Setiap agama harus mampu menginspirasi masyarakat untuk menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila tidak hanya harus menjadi semboyan, tetapi juga harus menjadi panduan dalam setiap tindakan yang diambil, baik oleh penyelenggara negara maupun oleh masyarakat secara umum. Pendidikan agama yang demikian diharapkan dapat memperkuat Pancasila sebagai dasar hidup bersama di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo, radikalisme Pancasila harus menjadi pegangan umat manusia di Indonesia. Nilai-nilai agama yang universal, seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, harus menjadi payung bagi terciptanya masa depan Indonesia yang lebih adil dan makmur.

Di era digital ini, tantangan untuk menerapkan etika publik semakin besar. Digitalisasi menciptakan masyarakat baru, yang seringkali menggunakan media sosial tanpa bijak. Banyak orang yang menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan informasi yang tidak benar, yang justru memperburuk situasi etika publik di Indonesia. Dalam situasi ini, agama seharusnya berperan sebagai penyeimbang, yang mampu menginspirasi masyarakat untuk menggunakan teknologi secara bijak dan etis. Agama harus mampu menjadi pemandu dalam menghadapi tantangan di era digital ini, dengan menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan tanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan di dunia maya. Setiap individu harus diajarkan untuk bertindak berdasarkan nilai-nilai etis, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Dengan demikian, agama akan mampu mengatasi budaya kepalsuan yang semakin berkembang di era digital ini, dan menginspirasi terciptanya etika publik yang otentik dan bermakna.

Agama memiliki peran yang sangat penting dalam membangun etika publik di Indonesia. Namun, peran ini seringkali terpinggirkan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Untuk itu, diperlukan upaya yang lebih serius dalam mengaktualisasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan publik. Pendidikan agama harus mengalami pembaruan, agar nilai-nilai universal yang diajarkan oleh agama dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Pancasila harus menjadi panduan utama dalam setiap Persoalan ketimpangan dan etika yang telah dibahas di atas memberikan gambaran bahwa agama tidak bisa hanya dijadikan aksesori semata atau sekadar formalitas.Agama harus menjadi fondasi etika publik yang berperan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menjadi penting karena agama membawa nilai-nilai moral yang universal dan mengajarkan kebaikan serta keadilan. Namun, yang terjadi saat ini adalah krisis nilai, di mana ajaran agama sering kali hanya dipahami secara dangkal dan digunakan untuk kepentingan pragmatis, tanpa penghayatan yang mendalam.

Seperti yang dikemukakan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh BPIP di Universitas Pattimura, Ambon, ada paradoks dalam pemahaman dan penerapan agama dalam masyarakat. Nilai-nilai luhur yang diajarkan agama kerap kali tereduksi hanya menjadi simbol tanpa penerapan yang konkret. Etika publik yang seharusnya diilhami oleh ajaran agama cenderung diabaikan, dan masyarakat, termasuk para pemimpin negara, terjebak dalam perilaku niretika. Hal ini terlihat dari maraknya kasus korupsi, nepotisme, kolusi, hingga penindasan terhadap kelompok minoritas. Salah satu masalah mendasar yang diidentifikasi dalam diskusi tersebut adalah relasi kuasa yang timpang antara mayoritas dan minoritas. Harmoni yang tampak di permukaan sering kali menutupi ketidakadilan yang terjadi di bawahnya. Minoritas kerap kali mengalami diskriminasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam berbagai aspek kehidupan. Relasi ini menjadi semakin problematik ketika harmoni yang diciptakan tidak berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, tetapi hanya pada kepentingan pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuasaan lebih besar.

Oleh karena itu, dalam forum-forum diskusi seperti yang diadakan di Universitas Pattimura ini, diharapkan dapat melahirkan pemikiran-pemikiran kritis dan solutif yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai agama dalam etika publik. Diskusi semacam ini juga penting untuk membongkar paradoks-paradoks keberagamaan yang ada dalam masyarakat dan mencari titik temu untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan seimbang.

Selain itu, perlu ada komitmen dari semua pihak untuk menjadikan agama sebagai sumber inspirasi dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berkeadilan. Agama tidak hanya harus dilihat sebagai sesuatu yang bersifat personal dan privat, tetapi juga sebagai panduan moral dalam kehidupan publik. Dengan demikian, agama dapat berperan secara signifikan dalam membentuk perilaku yang etis, tidak hanya pada tataran individu tetapi juga dalam struktur sosial dan politik yang lebih luas.

Pada akhirnya, kesadaran akan pentingnya etika publik yang diilhami oleh ajaran agama akan membawa kita pada tatanan masyarakat yang lebih baik. Masyarakat yang adil, sejahtera, dan berintegritas hanya dapat tercipta jika semua elemen bangsa mampu menjadikan agama sebagai pedoman moral yang diterapkan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Semoga pertemuan ini dapat menjadi langkah awal untuk mewujudkan cita-cita tersebut, di mana agama tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga menjadi inspirasi nyata dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih etis dan bermartabat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *