Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara yang juga Guru Besar dari Universitas Padjadjaran, Prof. Susi Dwi Harijanti mengingatkan bahwa RKUHAP, RUU Polri dan RUU Kejaksaan adalah satu kesatuan produk hukum yang harus dibahas bersama.
Pasalnya, Susi menyebut ketiganya merupakan satu rangkaian dalam criminal justice system.
“Kalau kita ingat kepada criminal justice system, maka ini ketiga-tiga rancangan undang-undang itu adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan criminal justice system.
Oleh sebab itu maka ketiga Rancangan undang-undang ini, menurut saya, pembahasannya itu harus dilakukan secara paralel, untuk melihat dari ketiga RUU tersebut bagian mana yg perlu ada perbaikan dan saling terkait satu sama lain untuk penguatan, karena namanya sebuah sistem pasti ada kaitannya,” ujar Susi saat menjadi narasumber dalam seminar bertajuk “Urgensi Amandemen V UUD NRI 1945” yang digelar secara daring pada Senin (28/4/2025) malam.
Susi menyebut sebagai undang-undang yang mengatur criminal justice system, utamanya KUHAP harus diatur secara detail dan mampu mengakomodir semua pihak.
Hal itu lantaran KUHAP adalah undang-undang atau hukum formil untuk menegakkan hukum materil.
“Maka itu akan berkaitan dengan warga negara, berkaitan dengan individu yang berkaitan dengan hak. Jadi disitulah mengapa hukum acara itu harus diatur dengan sangat baik, dengan sangat detail.
Karena apa? Karena hukum acara itu menyangkut apa yang disebut sebagai prosedur tadi. Dan prosedur itu ada yang namanya hak-hak prosedural,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, Susi juga turut menjelaskan bagaimana proses pembuatan Undang-Undang yang baik agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
Susi menyebut syarat utamanya yakni proses pembuatan Undang-Undang harus dilakukan sematang mungkin. Salah satunya dengan mengakomodir seluruh pihak yang akan diatur dalam Undang-Undang tersebut.
“Prosedur menjadi penting. Saya sering mengatakan prosedur is the heart of the law. Prosedur itu adalah jantungnya hukum.
Makanya kenapa dalam peraturan pembuatan undang-undang itu dijelaskan dengan jelas supaya jangan sampai pembentuk undang-undang itu hanya memperlihatkan legitimasi saja dan validity,” tuturnya.
“Jadi jangan kemudian semata-mata saya punya wewenang untuk membuat undang-undang. Tetapi justru yang mereka harus buktikan kepada kita adalah, mereka membuat undang-undang yang berkualitas,” sambungnya.
Sebab, ujar Susi, pada dasarnya negara sebagai organisasi kekuasaan pada prinsipnya memiliki daya paksa luar biasa terhadap pihak yang diatur dalam Undang-Undang.
“Jadi tidak boleh hanya dengan semata-mata berlandaskan pada legitimasi. Oleh karena itu, mengapa prosedur pembentukan sebuah UU itu harus diperlambat? Karena untuk memberikan kesempatan kepada rakyat sampai sejauh mana undang-undang yang dihasilkan itu memiliki tingkat daya paksanya,” tutur Susi.
Oleh karena itu, Susi meminta publik untuk ikut mengawasi tiap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah, termasuk dalam hal pembahasan revisi Undang-Undang.
“Menjadi sangat penting bagi publik sekarang aktif ikut mengawasi, keep on mind pada berbagai rancangan yang sekarang akan didiskusikan atau dibahas oleh pembentuk Undang-Undang,” ujarnya.