JAKARTA – Founder Restorasi Jiwa Indonesia (RJI) Syam Basrijal mengatakan bahwa saat ini ada sebuah data yang cukup mengkhawatirkan, yakni remaja Indonesia saat ini mengalami gangguan mental yang cukup besar, serta kesadaran digital yang rendah.
“Indonesia sedang menghadapi dua gelombang yang saling menguatkan, yakni krisis kesehatan mental dan rendahnya kesadaran digital,” kata Syam Basrijal dalam keterangan persnya, Kamis (30/10/2025).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk usia kurang dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta mengalami depresi. Angka yang menggambarkan beban sunyi yang tak lagi bisa diabaikan oleh kebijakan publik maupun komunitas akar rumput.
Kemudian, ia menjelaskan bahwa pada kelompok remaja, angka gangguan mental mencapai angka 15,5 juta orang, atau dalam kondisi tren meningkat dalam setahun terakhir ini.
“Survei nasional I-NAMHS—riset pertama yang memotret kesehatan mental remaja Indonesia menemukan satu dari tiga remaja (sekitar 15,5 juta orang) mengalami masalah kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir, dan satu dari dua puluh (sekitar 5,5% atau 2,45 juta) memenuhi kriteria gangguan mental. Temuan serupa diringkas oleh UGM dan profil kesehatan remaja UNICEF 2024,” jelasnya.
Di saat yang sama, konektivitas digital bagi anak-anak remaja tersebut pun mengalami lonjakan angka yang cukup cepat. Ia mengutip data APJII yang melaporkan 221,6 juta pengguna internet pada 2024 dengan penetrasi 79,5%.
“Ruang digital yang masif ini mempercepat diseminasi informasi. Sayangnya, juga mempercepat arus disinformasi, ujaran kebencian, dan kekerasan berbasis dunia maya yang memicu tekanan psikologis dan fragmentasi sosial,” tutur Syam Basrijal.
Maka dari itu, dengan ditopang dua kondisi krusial tersebut, skala risiko di jagat maya pun sangat tinggi. Salah satunya adalah kekerasan daring terhadap anak dan remaja. Bahkan UNICEF mencatat 45% responden muda (14–24 tahun) di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan siber; GSHS 2015 memperlihatkan lebih dari 21% anak 13–15 tahun melaporkan dirundung dalam sebulan terakhir.
“Kajian baseline UNICEF 2023 juga menegaskan paparan konten tak pantas, perundungan siber, serta eksploitasi seksual daring sebagai risiko nyata yang dihadapi mayoritas anak yang berinternet setiap hari,” paparnya.
Maka dari itu, dalam perspektif keilmuan psikologi Restorasi Jiwa Indonesia, Syam Basrijal menyebut bahwa terdapat konsekuensi yang cukup kompleks, di mana masalahnya tidak akan berhenti di ruang batin; sebab ia akan menyeberang ke ruang publik.
Hal ini pun dianggap inline dengan data bahwa pada bulan Februari 2023, isu penculikan anak yang terbukti hoaks menyulut kerusuhan di Wamena, sedikitnya 10 orang tewas menurut AP (laporan lain menyebut 12). Peristiwa serupa di Sorong berujung pembakaran seorang perempuan yang dituduh menculik—lagi-lagi dipicu kabar palsu di media sosial.
“Ini menunjukkan bagaimana reaktivitas digital dapat bermetamorfosis menjadi kekerasan komunal,” jelas Syam Basrijal.
Lebih kuat lagi, ia pun mengutip data dari Mafindo yang menemukan setidaknya ada 2.330 hoaks sepanjang 2023 (1.292 bertema politik, 645 terkait Pemilu 2024). Kementerian Kominfo/Komdigi mencatat 12.547 konten hoaks periode Agustus 2018–Desember 2023; sepanjang 2024 saja, 1.923 konten hoaks diidentifikasi.
“Pola ini menggambarkan eskalasi disinformasi yang menggerus kepercayaan sosial, memantik polarisasi, dan menekan kesehatan mental warga,” sambungnya.
Langkah Nyata Restorasi Jiwa Indonesia
Lantas apa yang perlu dilakukan dalam menyikapi fenomena tersebut, Syam Basrijal memberikan pandangannya bahwa perlakukan kesehatan mental sebagai urusan hulu–hilir: penguatan pencegahan berbasis sekolah, keluarga, pelatihan guru/PKM, layanan psikososial berbasis komunitas, hingga rujukan klinis.
Kedua, bangun kesadaran digital sebagai kompetensi warga: verifikasi informasi, etika percakapan, perlindungan data, serta penanganan perundungan siber. Ketiga, kebijakan publik harus menyatu, bukan proyek terpisah dengan indikator kinerja lintas sektor: pendidikan, kesehatan, sosial, dan keamanan.
Karena faktanya, Indonesia saat ini memang sedang butuh arsitektur kebijakan yang membuat warganya lebih tenang sebelum bereaksi, lebih kritis sebelum membagikan, lebih peduli sebelum menghakimi. Darurat ini nyata, namun dengan kolaborasi negara, keluarga, komunitas, dan platform digital, maka Indonesia bisa memutus rantai reaktivitas dan menyehatkan batin bangsa.
“Sebagai Founder Restorasi Jiwa Indonesia, saya melihat jalan keluarnya: edukasi kesadaran (awareness), penerimaan (acceptance), pelepasan keterikatan (letting-go), dan penyatuan dengan kehidupan (integration)—diterjemahkan ke program literasi jiwa dan literasi digital di sekolah, komunitas, dan ruang ibadah,” tutur Syam Basrijal.






